Sebelumnya
di Chapter 1..
Bus
Transjakarta yang aku naiki masih melaju dengan tenang..
“Hai.
Aku Alif Yusuf. Tadi penjelasanmu tentang patung di Bunderan Senayan
itu bagus lho”. Kataku menyapanya memulai percakapan dengan gadis
itu. Gadis itu menghentikan bacaannya lalu mendengarkan sapaanku tadi
sambil mengerenyitkan dahi. Kami masih dibatasi keponakannya yang
berdiri di bangku sambil melihat lalu lalang jalan dari balik
jendela.
“Alif?”.
Tanyanya. Aku pun mengangguk.
“A..
EL.. I.. EF..?”. Ejanya menyebut namaku.
“Iya
benar. Itu namaku”. Jelasku padanya. Matanya berpendar menatapku
lalu kemudian dia tertawa geli sendiri. Entah apa yang ada dibenaknya
ketika mendengar namaku saat ini. Tapi senyum dan tawanya itu mampu
untuk menarik simpatiku padanya.
“Mungkin
kamu pernah mendengar namaku ya? Aku novelis. Novel pertamaku
menjadi best seller tahun kemarin!”. Jelasku mengejar maksud
tawanya itu.
“Tidak.
Bahkan aku tak tahu novelmu yang menjadi best seller itu. Aku bukan
orang yang tertarik dengan novel”. Jawabnya seraya mengukir senyum
mengembang.
“Lantas,
apa yang membuatmu tertawa?”. Rasa penasaran merajai hatiku siang
itu.
Gadis
itu hanya menyungging senyum lebar lalu memperhatikan tingkah
keponakannya yang tampak antusias dengan situasi lalu lintas di luar
jendela. Aku membetulkan letak kacamataku yang turun sambil menghela
nafas panjang.
“Tante
lihat itu!” Tangan mungil Haikal keponakannya itu menunjuk keluar
jendela. Gadis itu lekat memperhatikan arah yang dimaksud dan aku pun
juga demikian.
“Itu
patung Jenderal Soedirman, Kal”. Sahut gadis berjilbab itu.
“Siapa
dia tante, aku ingin tahu?”. Tanya keponakannya kemudian. Aku yang
berada disana turut pula diam-diam menunggu penjelasannya.
“Jenderal
Soedirman adalah pemimpin pasukan perang gerilya pada masa perang
kemerdekaan di tahun 1945 sampai 1949. Ia menyandang anugerah
Panglima Besar. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara layak
dikenang dan diabadikan. Salah satunya ya patung beliau ini, Kal”.
Runtun gadis itu.
“Beliau
hebat ya tante. Haikal bila besar nanti mau seperti Jenderal
Soedirman juga!!”.
Gadis
itu hanya tertawa melihat tingkah keponakannya. Binaran mata penerus
bangsa itu seakan menyala berkobar menyuarakan cita-citanya. Aku yang
juga berada disampingnya makin antusias dalam perjalanan kali ini.
Komentar
Posting Komentar