Gadis
didepan pintu ruang tamu itu tersenyum dengan manis. Parasnya yang
cantik terbalut hijab berwarna merah muda sungguh memukau pandangan
mata. Tatapannya meneduhkan, laksana bidadari yang datang menyapa
Faris sore ini.
“Iya.
Kamu benar Ris. Ini aku Kanayya. Musuhmu yang sering kamu nasehati
itu”. Jawabnya lugas. Senyum manis masih terukir jelas disana.
Faris
hanya tertawa kecil mendengar jawaban tadi. Faris tak mampu untuk
berkata apa lagi tentang yang terjadi pada Naya saat ini.
Dihadapannya kini berdiri seorang gadis berhijab yang sepertinya baru
dia kenal. Bukan Naya, temannya ataupun juga bisa disebut musuhnya di
kampus yang selalu berpakaian mengundang syahwat, berani menentangnya
dalam berbagai retorika pentingnya ketaatan beragama di Forum Dakwah
Kampus atau juga Naya si bintang kampus dengan banyaknya laki-laki
yang memperebutkan perhatian gadis manis itu.
“Koq
kamu diam Ris? Apa kamu tidak berniat menyuruhku duduk?”. Naya
tersenyum kepada Faris.
“Eh..
iya. Silahkan duduk. Aku kedalam dulu ambil minum”. Faris
bertingkah canggung. Dia pun masuk kedalam. Tak berselang lama, Faris
kembali dengan dua cangkir teh hangat.
“Kamu
tidak keberatan kan aku datang kesini?”. Naya memulai pembicaraan.
“Tidak
Nay. Cukup banyak orang yang datang ke panti asuhan ini setiap
minggunya, mulai dari para donatur atau mahasiswa jurusan sosial yang
melakukan riset tentang kehidupan panti”. Jawab Faris. Pemuda ini
masih berusaha menjaga pandangannya dari sihir mata Naya yang
menggoda.
Naya
hanya mengangguk tanda mengerti. Pemuda dihadapannya itu berkata
runtun sekali. Pemuda yang dengan perkataannya telah menuntunnya
kepada cahaya yang terang benderang. Pemuda yang tiada bosan
menasehati setiap tingkah durjana keburukannya. Pemuda yang
memberinya sebuah kain panjang untuk menutupi rok mininya di kantin
pekan lalu. Pemuda itulah yang tanpa disadari telah menunjukkan pada
dirinya untuk menjadi seorang muslimah.
“Aku
kesini untuk mengucapkan selamat tinggal padamu, Ris”.
“Maksudmu?”.
Faris tertegun mendengar ucapan Naya.
“Aku
besok akan pindah ke Jogja, Ris. Papa dipindahtugaskan ke kantor
cabang yang ada disana. Berarti aku juga harus pindah dari kampus
kita”.
Faris
terdiam. Ada semburat kesedihan yang disembunyikannya.
“Aku
juga ingin mengucapkan terima kasih padamu, Ris. Kamu telah
menuntunku pada jalan yang seharusnya aku tempuh. Jalan impian
seorang gadis muslimah yaitu menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia”.
Faris
tersenyum getir. Dalam hatinya mengucap syukur atas hidayah yang
telah turun pada diri Naya. Namun, di bagian hatinya yang lain, ada
rasa sedih berada disana.
“Tapi,
apa kamu akan kembali lagi kesini Nay?”. Tanya Faris.
Naya
hanya tersenyum memandangi Faris.
“Entahlah,
Ris. Mungkin juga kembali lagi kesini untuk sekedar liburan. Aku
hanya berharap besok bisa menjadi awal hidupku yang lebih baik dari
kemarin”.
“Aku
juga berharap bila besok bertemu denganmu lagi, penampilanmu akan
tetap seperti ini, Nay”. Faris tertawa kecil.
Naya
hanya tersenyum.
Perlahan
semilir angin sore menyeruak masuk ke ruang tamu panti asuhan itu.
Kedua insan yang sedang mencoba menerka perasaan mereka, masih
disibukkan dengan kikuknya sebuah perpisahan yang sudah ada didepan
mata.
Komentar
Posting Komentar