Langsung ke konten utama

Celoteh Novi..


Dalam kesempatan penulisan kali ini, penulis ingin menceritakan perbincangan penulis dengan seorang teman wanita yang sejak bulan Ramadhan lalu telah mengubah penampilan sehari-hari dengan berhijab. Perbincangan ini tidak mengandung tendensi apapun, hanya sebagai bentuk penulisan bersifat suka-suka dan tidak bermaksud sama sekali untuk menggurui siapapun.

“Bagaimana perasaan kamu setelah berhijab?”.


“Jauh lebih tenang sekarang”.

“Cuma sesimpel itu? Selebihnya?”.

“Banyak sih sebenarnya…”.

“Merasa lebih dekat dengan Allah, lebih dihargai orang lain kalau di jalan, juga jadi gak ada pandangan aneh-aneh yang liatin”.

“Oooo.. Lalu hal apa yang mendorong kamu untuk mengenakan hijab?”.

“Sebenarnya niat sudah sejak lama lho, tapi terkadang aku masih suka labil. Takut risihlah. Inilah itulah, jadinya malah gak terlaksana juga..”. (Menghela nafas sejenak).

“Nah, waktu itu seragam yang aku pakai longgar banget kerahnya. Aku kan jadi malu. Jadi aku ada akal untuk menutupinya dengan hijab. Kebetulan juga kan waktu itu bulan puasa. Eh, ternyata mungkin hidayah atau apa ya namanya, aku koq jadi merasa nyaman gitu dengan keadaan kondisiku saat itu yang berhijab. Lalu aku mantapkan hati untuk menggunakannya sampai sekarang”.

“Lalu, pandangan orang-orang disekitar kamu gimana?”.

“Banyak banget yang komentar. Tapi Alhamdulillah, semuanya positif. Malah ada yang komentar, kenapa gak dari dulu aja berpenampilan begini”.

“Terus, apa ada niat memperdalam agama?”.

“PASTILAH”. (Mantap nian jawabnya).

“Yang terakhir nih. Pesan kamu buat wanita diluar sana yang katanya belum siap berhijab tuh!”.

“Hmm.. apa ya? Kalau menurutku sih, menutup aurat bagi wanita dalam islam itu penting ya. Jadi sebaiknya berpenampilanlah yang sesuai dengan aturan agama kita. Itu aja koq”.

“OK deh. Makasih atas waktunya Nov..”.

“Iya..”.

Komentar

Cerita Unggulan

Tentang JICBS#3 !!

Beberapa waktu yang lalu, sebelum aku benar-benar lupa tentang mereka yang pernah singgah di kehidupanku yang dinamis tiap akhir pekan, maka aku ingin menyematkan semua yang teringat dalam ingatan untukku tuangkan melalui goresan kecil dalam cerita ini. Cerita ini tentang petualanganku dengan mereka, remaja-remaji ajaib yang entah sudah menjadi suratan takdir aku harus bertemu dengan mereka. Di awali dengan tawaran teman kuliahku yang lucunya seperti Majin Buu dalam manga Dragon Ball itu untuk mengikuti pelatihan jurnalistik islami di Jakarta Islamic Centre bertajuk “JICBS#3” melalui google document yang dia kirimkan di hari itu ba’da shalat Jumat. Aku yang memang suka sekali terhadap hal-hal yang bersifat challenging sedari dulu akhirnya mengisi juga form tersebut. Singkat kata akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi di sana. Sebuah pengalaman baru menantiku, baca berita di panggung! . Untuk orang yang terbiasa mengurusi bermacam kegiatan di kampus dan me...

Temanku, Rivalku! (ups)

Ada pepatah jawa yang penulis ingat belakangan ini, berbunyi “ Witing tresno jalaran soko kulino ” yang artinya kurang lebih cinta bisa datang karena sering bertemu. Terdengar pas pepatah tersebut jika dikaitkan dengan keadaan 2 sahabat penulis yang kesemuanya lelaki, yang pada saat ini ‘sepertinya’ menaruh hati pada satu wanita yang sama dan dibawah naungan komunitas yang sama pula. Lalu apa ada yang salah? Tidak ada. Intensitas pertemuan yang berkesinambungan bisa saja dijadikan alasan untuk perasaan itu hadir. Toh, jika hati itu berpendar dengan semestinya bukankah merupakan sebuah anugerah dari Sang Maha Pencipta. Atau mungkin mengatasnamakannya dalam sebuah persahabatan yang terjalin erat? Di film beken bollywood Kuch Kuch Hota Hai, SRK menerjemahkan rasa itu dengan istilah: Love is Friendship . Bukan sesuatu yang salah kan? Aku mengenalmu, aku bersahabat denganmu, aku memahamimu, lantas apa salah jika aku berharap lebih padamu? Sekali lagi perasaan itu hadir diantara...

Nice To Meet You.. (Chapter 2)

Sebelumnya di  Chapter 1..   Bus Transjakarta yang aku naiki masih melaju dengan tenang.. “ Hai. Aku Alif Yusuf. Tadi penjelasanmu tentang patung di Bunderan Senayan itu bagus lho”. Kataku menyapanya memulai percakapan dengan gadis itu. Gadis itu menghentikan bacaannya lalu mendengarkan sapaanku tadi sambil mengerenyitkan dahi. Kami masih dibatasi keponakannya yang berdiri di bangku sambil melihat lalu lalang jalan dari balik jendela. “ Alif?”. Tanyanya. Aku pun mengangguk. “ A.. EL.. I.. EF..?”. Ejanya menyebut namaku. “ Iya benar. Itu namaku”. Jelasku padanya. Matanya berpendar menatapku lalu kemudian dia tertawa geli sendiri. Entah apa yang ada dibenaknya ketika mendengar namaku saat ini. Tapi senyum dan tawanya itu mampu untuk menarik simpatiku padanya. “ Mungkin kamu pernah mendengar namaku ya? Aku novelis. Novel pertamaku menjadi best seller tahun kemarin!”. Jelasku mengejar maksud tawanya itu. “ Tidak. Bahkan aku tak tahu novelmu yang m...