Langsung ke konten utama

Yang Kadang Tak Dihiraukan


06:30 AM.
Suasana masih begitu pagi ketika di sudut lorong kantor itu seorang cleaning service sedang memulai aktifitasnya. Seragamnya tampak sedikit basah oleh tumpahan air dari ember yang dibawanya tadi. Dengan sedikit menyeka keringat di mukanya, dicelupkannya kain pel yang yang juga dia bawa ke dalam ember itu. Dua tiga kali dia mengulanginya, kemudian memerasnya dengan sekuat tenaga. Tidak lupa juga dia menaruh papan peringatan berwarna kuning di ujung lorong untuk mengingatkan orang yang lewat kalau lantainya sedang licin. Dan sejurus kemudian, cleaning service itu dengan lincah mulai memainkan gagang pelnya itu ke kiri dan ke kanan untuk memulai pekerjaannya. Dengan gerak yang teratur, lantai itu mulai terlihat mengkilap oleh pekerjaannya. Sesekali ia kembali menyeka keringat di wajahnya yang mulai bercucuran.

Pekerjaan cleaning service itu sebentar lagi selesai, lorong kantor yang lumayan besar itu hampir bersih sepenuhnya oleh kegesitannya dalam bekerja. Dari balik jendela di lorong itu, dia pun dapat melihat keadaan di luar gedung bertingkat itu. Hujan. Kilatan petir terlihat berkejaran di angkasa. Sesekali gemuruh terdengar jelas juga ditelinganya. Hingga akhirnya tatapan nanarnya seolah tenggelam di balik gelapnya langit ibu kota. Pikirannya melompat jauh melewati ruas-ruas kaca bercampur dengan derasnya hujan yang turun. Mengingatkannya kembali akan masa itu, dimana semua harapan dan cita-cita dibangun demikian tinggi di dalam ruang kelas sekolah di kampungnya dulu. Masa dimana ego dan mimpi mempermainkan nalar sedemikian hebatnya. Saat dimana mimpi itu menjadi makin kontras dengan realita yang dia hadapi kini. Hatinya ngilu. Ada memory yang memaksa untuk keluar dari pikirannya dan menghujam berkali-kali seperti hujan yang membasahi jalanan pagi itu.

Hatinya seakan menjerit. Kalbunya meronta. Impian itu sirna oleh keterbatasan yang memang sulit untuk ditepis. Keadaan yang memaksa, memaksa langkah kecil seorang anak manusia untuk meninggalkan kampung halamannya menuju ibukota. Mengikuti langkah para perantau dari desanya demi mencari penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Meninggalkan orang tuanya yang melepas dengan sorot mata tak rela, meninggalkan senyum mungil adiknya dari balik jendela, meninggalkan halaman rumahnya yang dirimbuni pepohonan yang tampak berbahasa menyapa salam perpisahan saat itu.

Hujan di luar masih turun dengan derasnya…

Lamunannya tiba-tiba pecah. Derap langkah kaki mengagetkannya dari belakang. Rupanya seorang karyawati yang terkenal akan kesombongannya itu baru tiba, melewati cleaning service itu dengan angkuh dan tanpa sedikit pun membalas senyum serta salam yang diberikan cleaning service itu. Hanya jejak-jejak basah yang kotor yang tertinggal di koridor itu sepeninggal karyawati itu. Cleaning service itu menghela nafas dan terpaksa menyungging senyum sumbang. Ada semburat kekecewaan tergambar jelas diwajahnya. Dia harus mengulanginya pekerjaannya beberapa meter lagi di tempat jejak kotor karyawati tadi.

Begitulah dia. Pekerjaan sahabatku yang begitu mulia, yang kadang cuma bisa dipandang orang sebelah mata. Kadang banyak orang tak bisa menjaga sikap, menafikkannya, tanpa ingat bahwa kita diciptakan semua sama, punya harapan dan mimpi yang sama besarnya. Aku, kamu, kita dan mereka cuma dibedakan oleh waktu dan batas-batas ruang yang membelenggu serta menentukan nasib seseorang. Bukankah sapaan yang tulus dan senyum yang ikhlas mampu meruntuhkan ego setiap manusia serta membuka ruang antar kelas sosial, karena sejujurnya hakikat manusia untuk berbagi kepada sesama dalam berbagai hal merupakan salah satu fitrah manusia sejak dulu kala.

Tulisan ini tidak sama sekali bermaksud untuk menggurui siapa pun atau merendahkan pekerjaan apapun. Penulis hanya ingin berbagi keresahan, bahwa kita hendaknya hidup harus bertoleransi, saling menghargai, tenggang rasa diantara kita.

Komentar

Cerita Unggulan

Tentang JICBS#3 !!

Beberapa waktu yang lalu, sebelum aku benar-benar lupa tentang mereka yang pernah singgah di kehidupanku yang dinamis tiap akhir pekan, maka aku ingin menyematkan semua yang teringat dalam ingatan untukku tuangkan melalui goresan kecil dalam cerita ini. Cerita ini tentang petualanganku dengan mereka, remaja-remaji ajaib yang entah sudah menjadi suratan takdir aku harus bertemu dengan mereka. Di awali dengan tawaran teman kuliahku yang lucunya seperti Majin Buu dalam manga Dragon Ball itu untuk mengikuti pelatihan jurnalistik islami di Jakarta Islamic Centre bertajuk “JICBS#3” melalui google document yang dia kirimkan di hari itu ba’da shalat Jumat. Aku yang memang suka sekali terhadap hal-hal yang bersifat challenging sedari dulu akhirnya mengisi juga form tersebut. Singkat kata akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi di sana. Sebuah pengalaman baru menantiku, baca berita di panggung! . Untuk orang yang terbiasa mengurusi bermacam kegiatan di kampus dan me...

Temanku, Rivalku! (ups)

Ada pepatah jawa yang penulis ingat belakangan ini, berbunyi “ Witing tresno jalaran soko kulino ” yang artinya kurang lebih cinta bisa datang karena sering bertemu. Terdengar pas pepatah tersebut jika dikaitkan dengan keadaan 2 sahabat penulis yang kesemuanya lelaki, yang pada saat ini ‘sepertinya’ menaruh hati pada satu wanita yang sama dan dibawah naungan komunitas yang sama pula. Lalu apa ada yang salah? Tidak ada. Intensitas pertemuan yang berkesinambungan bisa saja dijadikan alasan untuk perasaan itu hadir. Toh, jika hati itu berpendar dengan semestinya bukankah merupakan sebuah anugerah dari Sang Maha Pencipta. Atau mungkin mengatasnamakannya dalam sebuah persahabatan yang terjalin erat? Di film beken bollywood Kuch Kuch Hota Hai, SRK menerjemahkan rasa itu dengan istilah: Love is Friendship . Bukan sesuatu yang salah kan? Aku mengenalmu, aku bersahabat denganmu, aku memahamimu, lantas apa salah jika aku berharap lebih padamu? Sekali lagi perasaan itu hadir diantara...

Nice To Meet You.. (Chapter 2)

Sebelumnya di  Chapter 1..   Bus Transjakarta yang aku naiki masih melaju dengan tenang.. “ Hai. Aku Alif Yusuf. Tadi penjelasanmu tentang patung di Bunderan Senayan itu bagus lho”. Kataku menyapanya memulai percakapan dengan gadis itu. Gadis itu menghentikan bacaannya lalu mendengarkan sapaanku tadi sambil mengerenyitkan dahi. Kami masih dibatasi keponakannya yang berdiri di bangku sambil melihat lalu lalang jalan dari balik jendela. “ Alif?”. Tanyanya. Aku pun mengangguk. “ A.. EL.. I.. EF..?”. Ejanya menyebut namaku. “ Iya benar. Itu namaku”. Jelasku padanya. Matanya berpendar menatapku lalu kemudian dia tertawa geli sendiri. Entah apa yang ada dibenaknya ketika mendengar namaku saat ini. Tapi senyum dan tawanya itu mampu untuk menarik simpatiku padanya. “ Mungkin kamu pernah mendengar namaku ya? Aku novelis. Novel pertamaku menjadi best seller tahun kemarin!”. Jelasku mengejar maksud tawanya itu. “ Tidak. Bahkan aku tak tahu novelmu yang m...