06:30 AM.
Suasana
masih begitu pagi ketika di sudut lorong kantor itu seorang cleaning service
sedang memulai aktifitasnya. Seragamnya tampak sedikit basah oleh tumpahan air
dari ember yang dibawanya tadi. Dengan sedikit menyeka keringat di mukanya, dicelupkannya
kain pel yang yang juga dia bawa ke dalam ember itu. Dua tiga kali dia
mengulanginya, kemudian memerasnya dengan sekuat tenaga. Tidak lupa juga dia
menaruh papan peringatan berwarna kuning di ujung lorong untuk mengingatkan
orang yang lewat kalau lantainya sedang licin. Dan sejurus kemudian, cleaning
service itu dengan lincah mulai memainkan gagang pelnya itu ke kiri dan ke
kanan untuk memulai pekerjaannya. Dengan gerak yang teratur, lantai itu mulai
terlihat mengkilap oleh pekerjaannya. Sesekali ia kembali menyeka keringat di
wajahnya yang mulai bercucuran.

Hatinya
seakan menjerit. Kalbunya meronta. Impian itu sirna oleh keterbatasan yang
memang sulit untuk ditepis. Keadaan yang memaksa, memaksa langkah kecil seorang
anak manusia untuk meninggalkan kampung halamannya menuju ibukota. Mengikuti
langkah para perantau dari desanya demi mencari penghasilan dan penghidupan
yang lebih baik. Meninggalkan orang tuanya yang melepas dengan sorot mata tak
rela, meninggalkan senyum mungil adiknya dari balik jendela, meninggalkan
halaman rumahnya yang dirimbuni pepohonan yang tampak berbahasa menyapa salam
perpisahan saat itu.
Hujan
di luar masih turun dengan derasnya…
Lamunannya
tiba-tiba pecah. Derap langkah kaki mengagetkannya dari belakang. Rupanya
seorang karyawati yang terkenal akan kesombongannya itu baru tiba, melewati
cleaning service itu dengan angkuh dan tanpa sedikit pun membalas senyum serta
salam yang diberikan cleaning service itu. Hanya jejak-jejak basah yang kotor yang
tertinggal di koridor itu sepeninggal karyawati itu. Cleaning service itu
menghela nafas dan terpaksa menyungging senyum sumbang. Ada semburat kekecewaan
tergambar jelas diwajahnya. Dia harus mengulanginya pekerjaannya beberapa meter
lagi di tempat jejak kotor karyawati tadi.
Begitulah
dia. Pekerjaan sahabatku yang begitu mulia, yang kadang cuma bisa dipandang
orang sebelah mata. Kadang banyak orang tak bisa menjaga sikap, menafikkannya,
tanpa ingat bahwa kita diciptakan semua sama, punya harapan dan mimpi yang sama
besarnya. Aku, kamu, kita dan mereka cuma dibedakan oleh waktu dan batas-batas
ruang yang membelenggu serta menentukan nasib seseorang. Bukankah sapaan yang
tulus dan senyum yang ikhlas mampu meruntuhkan ego setiap manusia serta membuka
ruang antar kelas sosial, karena sejujurnya hakikat manusia untuk berbagi
kepada sesama dalam berbagai hal merupakan salah satu fitrah manusia sejak dulu
kala.
Komentar
Posting Komentar